http://www.indomedia.com/bpost/072006/13/opini/opini3.htm
Thursday, 13 July 2006 02:57
--------------------------------------------------------------------------------
Tercabutnya Roh Diskriminatif
SELASA (11/7) adalah hari yang sangat bersejarah bagi seluruh penghuni republik ini. Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kewarganegaraan menjadi undang undang. Dengan disahkannya RUU ini menjadi UU, sama artinya tercabutnya roh diskriminatif yang tertuang dalam UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, yang puluhan tahun dirasakan oleh perempuan WNI yang melakukan kawin campur dan warga Tionghoa.
Sejarah membuktikan, keberadaan UU No 62/1958 dapat merugikan perempuan WNI yang melakukan kawin campur karena menempatkan mereka sebagai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya.
Selain itu, perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan campur juga memberikan berbagai kesulitan bagi pasangan kawin campur. Misalnya, harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan sosial/budaya. Ini artinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Seperti biaya permohonan visa, perjalanan ke luar Indonesia untuk mengambil visa, menunggu prosesnya selama dua hari kerja (ada biaya hotel, transportasi).
Lebih kejam lagi, jika keberadaan anak kawin campur tidak pernah dilaporkan karena ketidaktahuan atau tidak mampu maka pilihannya adalah membayar denda overstay, anak dideportasi, atau dalam UU Keimigrasian dikenai pidana dengan tuduhan menyembunyikan orang asing ilegal.
Warga keturunan Tionghoa yang sudah beranakpinak di Indonesia, juga sangat dirugikan oleh UU Nomor 62/1958 tersebut. Karena, dari tahun ke tahun mereka selalu bermasalah dalam pengurusan pembuatan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Yang jelas, mereka akan mengeluhkan biaya yang besar untuk mendapatkan dua identitas sebagai penduduk Indonesia tersebut.
Lebih tak manusiawi lagi, hak politik warga Tionghoa tidak diakui. Bahkan dengan adanya UU produk rezim Orde Lama itu, warga Tionghoa dijadikan warga negara kelas dua. Salah satunya, warga Tionghoa tidak bisa jadi presiden.
Dengan tercabutnya roh diskriminatif itu, maka perempuan WNI yang melakukan kawin campur tidak lagi memusingkan kewarganegaraan anaknya dan tetekbengek lainnya. Bagi warga Tionghoa, tidak lagi memusingkan hak sipil dan politiknya. Sekarang, mereka menjadi bagian utuh dari warga Indonesia.
Tanpa banyak kata lagi, diskriminatif sudah terkubur. Yang penting sekarang adalah ke depannya. Bagaimana semua komponen masyarakat menyikapi UU Kewarganegaraan yang baru itu.
Khusus menyangkut kepentingan warga Tionghoa, perlu ada program nyata dari pemerintah untuk menghilangkan citra bahwa warga Tionghoa lebih ‘superior’ dan warga pribumi orang yang paling berhak.
Selain itu, sikap sebagian warga Tionghoa mengutamakan kepentingan golongannya daripada bangsa juga harus diubah menjadi lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada golongannya. Karena itu, orang Tionghoa harus ikut berdialog di kala bangsa ini mengalami transformasi nilai yang penting akhir-akhir ini.
Warga Tionghoa juga harus ikut berbicara dalam setiap aspek pembangunan nasional dan daerah. Dari situ mungkin bisa dihasilkan kebijakan yang menyeluruh, dan memasukkan aspirasi warga Tionghoa dalam menentukan nasibnya di tanah air mereka ini.
http://life4family.blogspot.com
http://continuousimprovement.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment